Memimpin Sekolah Bukan Sekedar Unjuk Gigi tetapi Membawa Kontribusi


Bambang Aryan

Kepala SMAN 1 Kota Bogor

Memimpin Sekolah Bukan Sekedar Unjuk Gigi tetapi Membawa Kontribusi

Delapan standar nasional pendidikan sudah lama digadang-gadang oleh kementerian pendidikan nasional. Tidak heran bila semua sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah terus berupaya memenuhi delapan standar itu. Semua pihak turut serta dalam pemenuhan standar-standar yang semestinya dipenuhi. Melalui badan akreditasi, delapan standar itu pun “ikut dilihat” apakah sekolah-sekolah sudah memenuhi standar yang diharapkan.

Lebih jauh tentang akreditasi sekolah yang dilakukan memiliki tujuan untuk memperoleh gambaran meyeluruh tentang sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah. Capaian dan kinerja yang diperoleh dapat digunakan sebagai alat pembinaan, pengembangan, dan peningkatan mutu; menentukan tingkat kelayakan suatu sekolah dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan.

Empat prinsip akreditasi seperti objektif,  efektif, komprehensif,  dan memandirikan, diharapkan kepala sekolah dan warga sekolah dapat memberikan informasi objektif tentang kelayakan dan kinerja sekolah. Hasil akreditasi dapat memberikan informasi dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan, karena akreditasi meliputi berbagai aspek dan menyeluruh, sehingga sekolah dapat berupaya meningkatkan mutu dengan bercermin pada evaluasi diri,

Berbagai bantuan dalam rangka pemenuhan delapan standar terus digelontorkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Tak terkecuali “sekolah desa” menjadi prioritas. Harapan semua pihak, dengan disalurkannya bantuan agar terpenuhi layanan yang optimal kepada para peserta didik.

Makna dari terpenuhinya delapan standar pendidikan di setiap sekolah, didukung dengan proses akreditasi yang dilakukan cukup ketat, menggiring semua sekolah memiliki status kwalitas tertentu. Artinya, bila suatu sekolah telah mengantongi nilai akreditasi “A” dengan segala kelebihannya sekolah itu setara dengan sekolah lain yang nilai akreditasi “A” dimana pun posisi sekolah itu berada.  Tidak ada sekolah kota dan sekolah desa atau pinggiran.

Bantuan dari pemerintah pusat dan daerah dengan keterbatasan yang dimiliki memang dirasakan belum merata (ini perlu pembuktian dan data real) dan belum sepenuhnya dapat mengatasi kebutuhan masing-masing sekolah yang memiliki ragam kebutuhan. Bisa jadi suatu sekolah mendapatkan bantuan yang diberikan oleh pusat dan daerah, tetapi belum sepenuhnya menjawab harapan. Itulah harapan, sesungguhnya peran kepemimpinan kepala sekolah sangat dinanti.

Memimpin sekolah memang tidak mudah. Memimpin sekolah memerlukan keahlian dan kecerdasan dalam mengelola. Tentu mengelola sekolah tidak melulu mengharapkan bantuan dari pemerintah pusat dan daerah. Disaat sekolah memerlukan pengembangan dari segala aspek, peran “kepala sekolah cerdas” sangat diperlukan aksi nyatanya.

Bantuan dari pemerintah pusat dan daerah, biasanya dapat berupa pemberian untuk men-stimulus. Kepala sekolah diera digital saat ini, semestinya jeli melihat dan menangkap peluang dan potensi-potensi yang ada di sekolah. Dengan melihat dan menangkap potensi yang ada merupakan bentuk respons positif dari kepala sekolah.

Berbicara potensi yang dimiliki, memang di setiap sekolah tidak sama. Tetapi paling tidak kepala sekolah dapat mengetahui potensi di sekolah tersebut sehingga dapat mendiskusikan langkah selanjutnya dengan stakeholder dalam mencari cara mengelola potensi dan solusi dari masalah yang dihadapi. Tidak ada bantuan dari pemerintah pusat dan daerah tidak lantas kepala sekolah “mati gaya”.

Menjalin komunikasi persuasive yang humanis sangat diperlukan dalam situasi ketika sekolah belum mendapat bantuan dari pemerintah.  Komunikasi sebaiknya dijalin dengan komite sekolah, para orangtua siswa, dan jangan lupa dengan para alumni.

Dua lokal gedung A dan B dengan kontruksi 4 lantai, bersih, hijau, dan nyaman, saat ini mejadi bukti bahwa kepala sekolah tidak “mati gaya” karena belum mendapat bantuan dari pemerintah. Gedung tersebut dibangun bersumber dari dana sumbangan orangtua dan alumni. Sudah tentu tidak hanya itu, bukti bahwa peran serta orangtua siswa dan peran alumni dalam pengembangan sekolah ketika kami belum mendapat bantuan dari pemerintah. Kegiatan kesiswaan mendapat dukungan penuh, misalnya pada kegiatan ajang di tingkat provinsi dan nasional serta internasional. Mulai dari dukungan moril pada tahap persiapan, dan pembinaan hingga dukungan berupa materi. Komunikasi persuasive yang humanis tampaknya membuahkan hasil, hingga prestasi pun kami raih.

Hal lain perlu disampaikan, bahwa siswa lulusan sekolah yang dipimpin sangat dipercaya oleh perguruan tinggi negeri dan swasta ternama. Indeks integritas sekolah pun menjadi kepercayaan tersendiri. Tingkat kepercayaan perguruan tinggi kepada lulusan di sekolah menggambarkan sangat percaya terhadap tingkat kejujuran para siswa atas proses pembelajaran yang begitu Panjang dari para guru.

Pertanyaannya, apakah capaian ini tidak patut dipublikasikan kepada khalayak ramai?

Saya fikir ini adalah hasil dari praktik baik, seyogyanya patut untuk diketahui oleh orang-orang yang memiliki kepentingan sehingga berdampak pada pengembangan sekolah. Lalu, ambil sisi baik dari publikasi itu. Bila ada yang dapat diadopsi, diadaptasi, bahkan dimodifikasi itu lebih baik.

Sebagai penutup, kepala sekolah adalah pemimpin yang sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk pengembangan sekolah. Gunakan kemampuan itu untuk terus berkarya hingga karya itu nyata. Sudah waktunya para kepala sekolah bangkit bagi negeri ini membawa perubahan yang sarat akan kemajuan teknologi bukan sekedar untuk unjuk gigi tetapi untuk membawa kontribusi. Kepala sekolah keren adalah mereka yang berani mengambil langkah pasti, meraih mimpi. Karena tanpa aksi, mimpi hanyalah mati (Jason Pranata, 2020).

Apakah data mewakili nalar kehidupan?


Oleh : Bambang Aryan S

Apakah data mewakili nalar kehidupan?

Saat kita diskusi dengan orang lain, terkadang hampir semua peserta diskusi ingin menunjukkan kemampuannya dalam menyampaikan ide-ide atau buah pikiran kepada orang lain. Bisa jadi peserta tersebut ada juga yang ingin memperlihatkan bahwa pengetahuannya juga patut diperhitungkan atau ada juga karena ingin ‘keren’ saja.

Peserta diskusi tiba-tiba mengatakan “nah itu dia, memang data mewakili nalar kehidupan kita”
Lantas saya berpikir, apakah benar data mewakili nalar?
Lah ko bisa?

Mari kita telusuri apa itu makna ‘data’. Pada Wikipedia tertulis bahwa data adalah catatan atas kumpulan fakta. Dalam penggunaan sehari-hari data berarti suatu pernyataan yang diterima secara apa adanya. Sehingga data merupakan hasil pengukuran atau pengamatan suatu variabel yang bentuknya dapat berupa angka atau kata-kata.

Data perlu dimaknai atau paling tidak perlu adanya penafsiran terhadap angka atau kata-kata yang dikumpulkan dari hasil pengamatan atau pengukuran. Proses pemberian makna atau dalam menafsirkan data sudah semestinya menggunakan dan melalui proses berpikir yang biasa kita sebut sebagai penalaran.

Penalaran juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Apa yang diamati? Sudah tentu ada data. Nah proses inilah yang disebut menalar.

Lalu masih pantas kah kita mengatakan data mewakili nalar kehidupan?
Apabila melihat penjelasan di atas sudah tentu merupakan hal yang keliru. Mana mungkin data mewakili nalar? Karena data justru perlu daya pikir kita untuk menafsirkan apa saja makna yang terkandung didalamnya.

Memang terkadang kita ingin ikut ‘nimbrung’ saat berdiskusi dan ingin terlihat bahwa kita tidak dianggap pengetahuannya rendah. Sehingga apapun disampaikan. Padahal itu akan membuka lebar tentang apa yang sesungguhnya dimiliki oleh kita.

Selamat pagi, semoga bermanfaat.

#dirumahaja
#lawanCOVID-19

Lima Prinsip Memimpin dari Rumah


Oleh: Bambang Aryan

Lima prinsip memimpin dari rumah di masa COVID-19, sebaiknya dimiliki oleh kepala sekolah:

1. Bersikap tenang. Para guru, orangtua dan siswa melihat kepala sekolah adalah pemimpin untuk memproyeksikan rasa tenang melalui situasi yang sulit dan tidak pasti ini.

2. Kepercayaan. Kepala sekolah harus dapat memproyeksikan kepercayaan diri bahwa kepala sekolah akan dapat melalui wabah ini dengan sukses, dengan berbagai kebijakan dan strategi yang digunakan.

3. Komunikasi. Lakukan komunikasi tanpa henti dengan para guru, tenaga kependidikan dan guru terhadap para siswa. Agar mengetahui aktivitas pembelajaran yang dirancang dan dilakukan oleh guru sesuai dengan kondisi siswa dan orangtua. Tetap menyampaikan himbauan agar tidak berpergian, berkerumun, dan ikuti protokol kesehatan. Diam adalah hal terburuk dan jangan dibiarkan terjadi.

4. Kolaborasi. Kepala sekolah tidak akan tahu semua situasi dan jawaban dari masalah. Ini adalah waktu yang tepat bagi kepala sekolah untuk memanggil sumber daya, kemampuan semua guru dan tenaga kependidikan, komite sekolah, dan menyatukan mereka dalam gugus tugas, sub-gugus tugas, dan berpotensi memiliki peran untuk semua orang dapat berkontribusi untuk mengatasi ketidakpastian, mengatasi krisis.

5. Apresiasi. Berikan apresiasi kepada para guru, tenaga kependidikan dan siswa berapa pun capaian yang diperoleh.

Sudah waktunya para kepala sekolah bangkit bagi negeri ini membawa perubahan di masa COVID-19 yang sarat akan kemajuan teknologi bukan sekedar untuk unjuk gigi tetapi untuk membawa kontribusi. Kepala sekolah keren adalah mereka yang berani mengambil langkah pasti, meraih mimpi. Karena tanpa aksi, mimpi hanyalah mati (Jason Pranata, 2020).

 

Nilai Rapor, COVID-19 dan PPDB


Oleh : Bambang Aryan

Kita pasti sepakat bahwa pandemi COVID-19 agar cepat berakhir. Kalau ada yang berbeda pendapat perlu dipertanyakan kemampuan berpikir logisnya. Atau kita biarkan saja mereka mengikuti alur berpikirnya, walaupun seperti anomaly. Memaksakan kehendak adalah sebuah perbuatan kurang terpuji pada saat ini. Jadi tidak heran kalau ada pengikut aliran berpikir tidak logis seperti itu.

Telah banyak bukti akibat pandemi COVID-19 ini. Kesulitan dalam penghidupan sehari-hari karena mereka mengalami pemutusan hubungan kerja. Beberapa penyedia jasa angkutan umum banyak tidak beroperasi. Jasa travel mengalami hal yang sama, tidak beroperasi karena terkait beberapa larangan pemerintah untuk sementara orang-orang dilarang berpergian bila tidak penting dan mendesak. Banyak rumah makan penyedia makanan berbuka puasa juga tutup. Biasanya mereka melayani pelanggannya untuk berbuka puasa bersama di bulan ramadan. Mestinya saat di bulan Ramadan bagi pemilik rumah makan dalam bahasa sunda merupakan “marema”, sesuatu yang sangat luar biasa banyak pelanggan tidak seperti biasanya dan akhirnya mendapat keuntungan yang banyak.

Dampak pandemi dialami juga oleh guru-guru di sekolah. Pembelajaran yang bergerak secara online, penilaian secara online, bahkan ujian sekolah pun secara online. Walau pun ada banyak sekolah membatalkan ujian sekolah karena pandemi ini begitu cepat mengubah tatanan, yang berakibat pada sekolah belum siap menghadapi pandemi yang begitu cepat datang. Bagi siswa bukan sesuatu yang menyenangkan ketika mereka harus belajar dari rumah, tetapi menjadi kegiatan yang membosankan. Pembelajaran secara online yang dilakukan dari guru-guru menjadi beban bagi para siswa. Belum lagi kalau dikaitkan dengan tingkat kemampuan perekonomian orang tua siswa, tidak sedikit orangtua siswa mengalami kesulitan memenuhi kuota internet bagi anaknya dalam mengikuti pembelajaran dari rumah.

Bagi orangtua yang memiliki anak akan memasuki ke sekolah menengah atas atau kejuruan (SMA atau SMK) merupakan keunikan tersendiri. Dimasa pandemi ini, sudah jelas pemerintah melarang semua orang untuk berkumpul, dan berkerumun. Proses pendaftaran bagi calon siswa ke sekolah tidak dilakukan dengan tatap muka dan berkerumun seperti biasanya dilakukan tahun lalu. Tahun lalu pun, pendaftaran masuk ke SMA dan SMK dilakukan secara online namun ada proses verifikasi dokumen. Dokumen tersebut seperti dokumen kependudukan dan bukti kejuaraan bagi yang mengikutinya serta nilai hasil ujian nasional. Tahun ini ujian nasional ditiadakan mengingat wabah COVID-19 terlampau cepat masuk ke negara kita, sehingga sebagai alat seleksi bagi siswa yang akan masuk SMA/SMK negeri melalui jalur prestasi akademik jatuh pada pilihan menggunakan nilai yang tertera pada rapor.

Buku rapor menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah buku yang berisi nilai kepandaian dan prestasi belajar siswa di sekolah, berfungsi sebagai laporan guru kepada orang tua atau wali. Apa yang ditulis di dalam rapor merupakan penghubung komunikasi baik antara sekolah dengan orang tua siswa maupun dengan pihak-pihak lain yang ingin mengetahui tentang hasil belajar anak pada kurun waktu tertentu. Sudah semestinya, rapor harus komunikatif, informatif, dan komprehensif (menyeluruh) memberikan gambaran tentang hasil belajar siswa. Ada memang beberapa guru di sekolah tertentu mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap siswanya, karena dengan keyakinannya bahwa siswa-siswanya dapat melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Sehingga melakukan penilaian yang pantastis terhadap siswanya. Ada juga guru yang memberi penilaian di rapor terhadap siswanya sangat ketat karena ingin menunjukkan bahwa lulusan dari sekolah tempat mengajar memiliki kualitas tinggi. Beragam argumentasi berdampak pada perbedaan cara memberi nilai, artinya sulit mencari standar dalam memberi nilai terhadap siswa oleh guru pada satu sekolah dengan sekolah lain.

Seperti halnya seleksi masuk perguruan tinggi melalui jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri biasa kita kenal SNMPTN, tahun ini seleksi masuk ke SMA dan SMK negeri pun menggunakan nilai yang tertera di dalam rapor SMP. Proses pendaftaran mirip dengan proses pendaftaran yang dilakukan oleh perguruan tinggi negeri pada saat akan menyeleksi calon mahasiswa. Pihak sekolah sebagai pendaftar melakukan entry nilai rapor dan kejuaraan yang diperoleh siswa ke aplikasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) tanpa mengunggah lembar rapor dan sertifikat. Pihak sekolah pendaftar atau orangtua calon siswa pendaftar bertanggung jawab penuh terhadap kebenaran data yang di entry.

Menarik sekali ketika nilai rapor diperbincangkan sebagai alat seleksi jalur prestasi akademik masuk ke SMA dan SMK. Kalau ditelusuri lebih dalam, ada perbedaan pada pemberian nilai rapor siswa antara satu sekolah dengan sekolah lain. Misalkan guru di sekolah Y memberi nilai matematika 7 belum tentu sama dengan nilai 7 di sekolah Z, atau guru di sekolah Y memberi nilai sangat mudah (murah) tetapi di sekolah Z ketat dalam pemberian nilai. Apalagi dengan berbeda dalam menentukan kriteria ketuntasan minimal setiap sekolah, ini akan semakin beragam nilai siswa antar sekolah.

Sebagai salah satu upaya agar alat ukur yang digunakan tidak mengalami penyimpangan (deviasi) terlalu jauh, sebaiknya pada seleksi calon siswa baru disuatu sekolah tidak hanya menggunakan nilai rapor. Akan lebih baik dikalibrasi dengan nilai ujian nasional beberapa tahun sebelumnya dari sekolah tempat siswa tersebut belajar, nilai akreditasi, indeks integritas ujian nasional atau nilai lain yang terstandar. Walaupun memang oleh beberapa kalangan bahwa nilai akreditasi sekolah masih kurang diyakini standarisasinya.

Kalibrasi nilai rapor dengan nilai ujian nasional tahun sebelumnya adalah salah satu bentuk yang dianggap paling baik saat ini dalam menentukan seleksi masuk ke jenjang SMA dan SMK  pada saat nilai ujian nasional tidak dapat digunakan untuk seleksi. Kalibrasi merupakan serangkaian kegiatan yang membentuk hubungan antara nilai yang ditunjukkan oleh instrumen ukur atau sistem pengukuran, dengan nilai-nilai yang sudah diketahui yang berkaitan dengan besaran yang diukur dalam kondisi tertentu. Tujuan dari kalibrasi adalah untuk mencapai ketertelusuran pengukuran. Hasil pengukuran dapat ditelusur sampai ke standar yang lebih tinggi (teliti). Kedua, dapat menentukan deviasi (penyimpangan) kebenaran nilai konvensional penunjukan suatu instrumen ukur. Ketiga menjamin hasil-hasil pengukuran sesuai dengan standar Nasional maupun Internasional.

Demikian semoga bermanfaat.

 

 

#BelajardariRumah

#WorkFromHome
#SocialDistancing
#PhysicalDistancing
#StayAtHome

#MajuBersamaHebatSemua

Dampak COVID-19 pada Pendidikan di Sekolah dan Keluarga


Bambang Aryan – Kepala SMAN 1 Kota Bogor

Dampak COVID-19 pada Pendidikan di Sekolah dan Keluarga

Pandemi COVID-19 adalah krisis kesehatan yang sangat memprihatinkan. Tidak sedikit negara dengan tepat memutuskan untuk menutup sekolah, perguruan tinggi dan universitas. Krisis ini membuat dilema bagi pengambil kebijakan, antara meliburkan sekolah (lockdown sekolah) agar mengurangi kontak fisik dan menyelamatkan para siswa atau siswa tetap masuk dengan menjaga mereka agar tidak terkena COVID 19. Walaupun pilihan kedua ini sangat sulit diwujudkan.

Banyak keluarga merasa terganggu dengan wabah ini. Bagaimana tidak, siswa belajar di rumah tidak hanya mengganggu produktivitas orang tua, tetapi juga mengganggu tatanan kehidupan sosial dan pembelajaran anak-anak. Walaupun saat ini di rumah adalah pilihan paling aman dimasa pamdemi COVID-19.

Yang menarik adalah pembelajaran saat ini sedang bergerak menuju pembelajaran moda daring atau online. Walaupun pembelajaran secara online pada skala besar yang belum diuji dan jarang terjadi sebelumnya. Penilaian siswa juga bergerak secara online, dengan banyak trial and error dan ketidakpastian untuk semua orang. Tidak sedikit juga penilaian telah dibatalkan. Gangguan ini tidak hanya akan menjadi masalah jangka pendek, tetapi juga dapat memiliki konsekuensi jangka panjang untuk beberapa orang yang terkena dampak dan cenderung meningkatkan ketidaksetaraan.

Dampak pada Pembelajaran di Sekolah

Pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah merupakan kebijakan publik terbaik yang tersedia untuk meningkatkan keterampilan siswa. Sementara itu, siswa belajar atau pergi ke sekolah juga bisa menyenangkan, dapat meningkatkan keterampilan sosial dan kesadaran sosial. Hal terpenting bagi siswa berada di sekolah adalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Dengan waktu yang relatif singkat di sekolah akan berdampak juga pada pertumbuhan keterampilan. Tetapi dapatkah kita memperkirakan seberapa besar gangguan COVID-19 akan memengaruhi pembelajaran?

Berbicara seberapa besar gangguan COVID-19 memengaruhi pembelajaran, sudah tentu harus didasarkan hasil penelitian. Kali ini kita masih pada tataran prediksi saja. Bahwa wabah COVID-19 berdampak pada pengurangan waktu pembelajaran seperti biasanya adalah sudah pasti. Biasanya di sekolah siswa belajar sekitar 8 jam perhari, berbeda pada kondisi saat ini mungkin hanya 3 sampai 4 jam saja dalam satu hari. Ini artinya bahwa setiap hari kehilangan waktu belajar siswa di sekolah sekitar 4 sampai dengan 5 jam perhari.

Pengurangan waktu pembelajaran tentu saja dan tidak dapat dihindari akan berdampak pada berbagai komponen. Ketuntasan kurikulum, kedalaman konten materi dalam pembelajaran, dan proses penilaian. Selain itu, kita tetap patuh pada anjuran pemerintah bahwa pada masa wabah COVID-19 ini semua orang seyogyanya memperhatikan daya tahan tubuh masing-masing. Nah, pemberian tugas-tugas yang banyak dan materi yang memiliki tingkat kesukarannya tinggi harus dihindari pada masa wabah ini. Guru disarankan agar memberikan pembelajaran yang menyenangkan dengan harapan kekebalan tubuh siswa tetap terjaga. Ini sejalan dengan ungkapan Hendarman (2020) bahwa beban tugas di rumah itu akan membuat meningkatnya level stress anak. Meningkat level stress anak secara tidak sadar akan memengaruhi tingkat imunitas.

Dampak pada Pendidikan Keluarga

Kondisi wabah COVID-19 mungkin mengecewakan beberapa siswa dalam konteks keinginan terus belajar (walaupun pada dasarnya semua orang juga akan kecewa). Biasanya siswa yang memiliki keinginan dan motivasi belajar tinggi yang merasa kecewa. Umumnya anak-anak ke sekolah untuk belajar sambil bermain dan bersosialisasi bersama teman-temannya serta membangun peradaban. Ide utamanya adalah ketika siswa kembali ke rumah bersama keluarga, mereka dapat melanjutkan belajar di rumah, dengan harapan materi pelajaran tidak ketinggalan terlalu banyak.

Keluarga adalah pusat dari pendidikan dan secara luas disepakati bahwa pendidikan di dalam keluarga merupakan pendidikan yang utama dalam pembelajaran anak-anak, seperti yang dijelaskan oleh Bjorklund dan Salvanes (2011). Pembelajaran bagi anak-anak di rumah mungkin saja pada awalnya dianggap cukup positif, dan akan efektif. Biasanya, peran ini dipandang sebagai pelengkap input dari sekolah. Misalnya, orangtua melengkapi pembelajaran matematika dengan berlatih menghitung atau menyoroti masalah matematika sederhana dalam kehidupan sehari-hari.

Kondisi seperti saat ini pada masa wabah COVID-19, siswa belajar di rumah akan menimbulkan beberapa respon. Bisa jadi dapat menginspirasi, membuat orangtua marah, membuat prustasi, dan tidak menutup kemungkinan merupakan perbuatan yang menyenangkan. Untuk sementara bisa kita katakan bahwa: tampaknya peran pembelajaran di rumah tidak akan menggantikan pembelajaran di sekolah.

Poin penting dampak wabah COVID-19 pada pendidikan keluarga adalah: kemungkinan akan ada perbedaan besar antara keluarga yang dapat membantu anak-anak belajar di rumah dengan yang tidak. Perbedaan utama termasuk  jumlah waktu yang tersedia untuk mencurahkan mengajar dan membimbing, keterampilan non-kognitif yang dimiliki para orang tua. Selain itu, sumber daya yang dimiliki akan membuat perbedan. Misalnya, tidak semua orang akan memiliki alat atau media untuk mengakses materi online. Hal lain yang dapat berpengaruh adalah seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki oleh orangtua, karena orangtua akan kesulitan dalam membantu anaknya mempelajari sesuatu yang mungkin tidak dipahami sendiri oleh anaknya (Oreopoulos et al. 2006). Akibat dari semua ini, pada akhirnya akan mengarah pada peningkatan dan pertumbuhan yang berbeda bagi orang-orang yang terkena dampak COVID-19.

Penilaian

Lockdown sekolah tidak hanya mengganggu pembelajaran untuk siswa. Lockdown sekolah juga berpengaruh pada proses penilaian dan ujian. Dengan wabah COVID-19 akan berdampak pada penundaan atau bahkan pembatalan ulangan dan ujian. Walaupun ada yang beranggapan bahwa penilaian internal di sekolah bisa jadi dianggap kurang penting dan banyak yang membatalkan begitu saja. Dilain pihak penilaian diharapkan dapat memberikan informasi tentang kemajuan siswa kepada orangtua dan guru. Sehingga hilangnya informasi ini akan memiliki konsekuensi jangka panjang yang berbahaya bagi siswa.

Lockdown  sekolah tidak hanya mempengaruhi penilaian internal, tetapi juga mendorong melakukan pembatalan penilaian dan cenderung diganti dengan menggunakan “nilai yang diprediksi”. Murphy dan Wyness (2020) menunjukkan bahwa penilaian selama lockdown sekolah seringkali tidak akurat. Penilaian bagi siswa berprestasi, diprediksi kurang beruntung dan mendapat nilai lebih rendah daripada siswa yang memiliki kemampuan biasa.

Tidak dapat dipungkiri penilaian pun akan terjadi bias. Biasanya tergantung pada apakah siswa itu termasuk dalam kelompok yang biasanya berkinerja baik (Burgess and Greaves 2013, Rangvid 2015). Misalnya, jika anak perempuan biasanya memiliki kinerja yang lebih baik dalam suatu subjek, penilaian terhadap kinerja siswa laki-laki cenderung lebih rendah. Karena penilaian semacam itu digunakan sebagai kualifikasi utama untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi, sehingga langkah yang harus dilakukan adalah menghapus penilaian subjektif. Selain itu, penilaian subjektif juga dapat memiliki potensi konsekuensi jangka panjang untuk kesetaraan kesempatan.

Begitu pula, karier lulusan dan kenaikan kelas siswa tahun ini mungkin sangat terpengaruh oleh pandemi COVID-19. Siswa telah mengalami gangguan pembelajaran di bagian akhir studi mereka. Siswa mengalami gangguan utama dalam penilaian dan akhirnya mereka cenderung lulus dan naik kelas pada pertengahan atau akhir krisis global ini.

Solusi?

Lockdown institusi pendidikan akan menyebabkan gangguan besar dalam pembelajaran siswa; gangguan dalam penilaian internal; dan pembatalan penilaian atau penggantian penilaian dengan alternatif yang lebih rendah. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak negatif ini?

Ketika siswa kembali dan belajar lagi ke sekolah,  dibutuhkan sumber daya untuk membangun kembali apa yang telah hilang dalam pembelajaran. Bagaimana sumber daya ini digunakan, dan bagaimana meningkatkan kepercayaan diri para siswa yang sangat terpukul akibat dampak pandemik COVID-19.

Bagaimana pun penilaian itu penting untuk pembelajaran. Sekolah sudah selayaknya melaksanakan penilaian daripada melewatkan penilaian dan menunda sampai batas waktu yang belum dapat ditentukan. Untuk siswa yang baru lulus, kebijakan sudah semestinya mendukung masuknya mereka ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Semoga bermanfaat.

#DiRumahSaja

#LawanCOVID-19

#WorkFromHome

#SocialDistancing

#PhysicalDistancing

 

Sumber Bacaan

Bjorklund, A and K Salvanes (2011), “Education and Family Background: Mechanisms and Policies”, in E Hanushek, S Machin and L Woessmann (eds), Handbook of the Economics of Education, Vol. 3.

Burgess, S and E Greaves (2013), “Test Scores, Subjective Assessment, and Stereotyping of Ethnic Minorities”, Journal of Labor Economics 31(3): 535–576.

Hendarman (2020), Koneksi Batin dan Covid-19, https://www.facebook.com/ permalink.php?story_fbid=1493403014167085&id=100004922025998

Murphy, R and G Wyness (2020), “Minority Report: the impact of predicted grades on university admissions of disadvantaged groups”, CEPEO Working Paper Series No 20-07 Centre for Education Policy and Equalising Opportunitites, UCL Institute of Education.

Oreopoulos, P, M Page and A Stevens (2006), “Does human capital transfer from parent to child? The intergenerational effects of compulsory schooling”, Journal of Labor Economics 24(4): 729–760.

Rangvid, B S (2015), “Systematic differences across evaluation schemes and educational choice”, Economics of Education Review 48: 41-55.

 

Digital Divide, Siswa Belajar di Rumah dan COVID 19


Oleh: Bambang Aryan

Digital Divide, Siswa Belajar di Rumah dan COVID 19

Angka dampak pandemi COVID 19 di Indonesia masih menunjukkan peningkatan dari hari ke hari, dan dari kurva yang ada cenderung belum menuju ke tingkat melandai atau mendatar. Ini membuat kita harus tetap kuat dan sabar menjalani masa-masa kritis seperti saat sekarang. Betapa tidak, karena hampir semua aktivitas harus dikerjakan di dalam rumah.

Menarik yang dikatakan oleh Hendarman (2020), bahwa bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah, menjadi hal yang seyogianya kita pahami dan laksanakan dalam masa pandemi Covid-19 ini. Kekhawatiran seyogianya bukan menjadi sesuatu yang “taboo” untuk diungkapkan, walaupun ada beberapa pihak yang menggunakan data dengan membandingkan jumlah yang meninggal dengan di negara-negara lain.

Sejenak kita buang jauh-jauh rasa kekhawatiran yang merasuki. Tetap focus pada kegiatan yang semestinya kita lakukan. Karena tetap kita harus bertahan hidup dan lepas dari wabah ini. Begitupun belajar pada saat wabah COVID 19 tetap harus dilaksanakan bagi siswa. Tidak terkecuali itu belajar di rumah. Demikian juga guru tidak lantas tidak mengajar atau membimbing, walaupun keadaan sedang diberlakukan “harus tetap di rumah” guru tetap melaksanakan kewajibannya.

Guru harus tetap memberikan layanan kepada siswa. Muncul pertanyaan akan kah menemukan kendala ketika guru mengajar secara online? Tentu tidak bagi guru yang termasuk digital native namun boleh jadi bagi guru yang digital immigrant.  Ini adalah hal menarik untuk dikaji. Karena antara digital native dan digital immigrant mesti terdapat kesenjangan. Perbedaan generasi adalah salah satu terjadi kesenjangan, terutama antara guru dan siswa.

Digital native adalah siswa atau anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam era digital, mereka adalah para “penduduk asli” di dunia digital, mereka berkomunikasi dengan telepon seluler, email, milis, internet messenger, web dan blog, mereka bersosialisasi dengan jejaring sosial di dunia maya seperti twiter, google plus, my spaces, Instagram, linkedln dan facebook, mereka juga bermain dengan games online. Generasi ini menganggap perangkat komunikasi  sebagai bagian integral dari kehidupannya.

Apabila ditelusuri lebih dalam, ternyata karakteristik digital native lebih menarik. Gibson, Kristin, dkk. (2013), menyebutkan karakteristik digital native : orang tersebut adalah opportunistic dan omnivorous yaitu menikmati sesuatu dalam lingkungan serba online atau kita sebut ingin mendapatkan informasi dengan cepat; menyukai kolaborasi dari satu orang ke orang lain (secara berjejaring); menyukai proses kerja secara pararel; menyukai sesuatu yang berbentuk “games” mengharapkan suatu penghargaan; puas dengan segala sesuatu yang bersifat instan; akses secara random (hypertext).

Digital immigrant adalah seorang individu yang lahir sebelum mengadopsi teknologi digital. Istilah ini juga berlaku bagi orang yang lahir setelah penyebaran teknologi digital dan yang tidak terkena di usia dini. Sebagai contoh bahwa generasi digital immigrant dapat memilih untuk mencetak dokumen untuk mengedit dengan tangan daripada melakukan editing pada layar. 

Perlu dipahami bersama bahwa berdasarkan siaran pers Badan Kepegawaian Negara (BKN) tahun 2019 secara spesifik, persentase 71,19% tenaga pendidik didominasi oleh kelompok usia 46 -60 tahun, sedangkan yang masih berada pada golongan kerja muda (antara usia 26 – 45 tahun) terhitung minim (kurang dari 200.00 guru). Sementara sejumlah 300.000 tenaga guru yang berada pada kelompok usia 56 – 60 tahun akan mencapai batas usia pensiun (BUP) dalam jangka lima tahun ke depan, diikuti dengan kelompok usia 46 – 55 tahun.  Data tersebut menunjukkan bahwa guru masih didominasi oleh kelompok usia tidak muda lagi. Artinya bahwa guru yang ada saat ini lahir sebelum mengadopsi teknologi digital.

Kesenjangan terjadi antara guru dan siswa dalam cara penyampaian materi pembelajaran secara online. Karena teknologi yang digunakan sudah berpihak pada usia siswa. Inilah yang biasa kita sebut digital divide.

Digital divide adalah kesenjangan antara individu, rumah tangga, bisnis atau kelompok masyarakat dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda dalam hal kesempatan atau akses teknologi informasi atau telematika dan penggunaan internet untuk beragam aktivitas. Digital devide mencerminkan beragam kesenjangan dalam pemanfaatannya dalam suatu negara. Kesenjangan tersebut mengacu pada kesenjangan di antara mereka yang dapat mengakses teknologi informasi dan dengan mereka yang tidak dapat mengaksesnya. Kesenjangan yang terjadi dapat bersifat fisik yaitu tidak mempunyai akses terhadap komputer dan perangkat teknologi informasi. Kesenjangan lainnya bersifat keterampilan yang diperlukan dalam berperan serta sebagai warga yang ‘melek’ digital.

Sudah tentu kesenjangan akan memiliki dampak. Dampak positif yang ditimbulkan dari digital divide yaitu : akan menumbuhkan motivasi bagi orang yang belum mengenal atau menerapkan teknologi informasi untuk terus meningkatkan penggunaannya. Masyarakat akan menyadari peranan teknologi informasi yang sangat penting dalam kehidupan dan peradaban manusia di seluruh dunia.Dan dampak negatif, yaitu bagi mereka yang sudah menguasai teknologi informasi dapat berkembang lebih cepat, sedangkan mereka yang tidak menguasai teknologi informasi hanya akan menjadi ‘penonton’. Kesenjangan tersebut mengakibatkan orang yang tidak mengerti teknologi informasi akan jauh tertinggal dengan mereka yang sudah mengenalnya sehingga pendidikan tidak merata.

Mengapa terjadi kesenjangan? Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya digital divide, yaitu : tidak memiliki fasilitas pendukung seperti jaringan internet dan komputer. Orang yang memiliki atau terkoneksi dengan jaringan internet akan memiliki wawasan yang lebih luas daripada yang tidak memiliki akses internet. Orang yang memiliki komputer akan lebih mudah dan cepat dalam bekerja, daripada yang masih menggunakan mesin tik manual.

Kesenjangan terjadi antara orang yang memiliki skill terhadap akses informasi dengan mereka yang tidak memiliki skill. Orang yang memiliki skill, otomatis lebih banyak mendapat informasi daripada yang tidak memiliki skill. Masalah lain,kurangnya pemanfaatan internet. Banyak orang yang telah memiliki komputer dan akses internet, namun mereka jarang menggunakannya sehingga tidak menghasilkan apa pun yang bermanfaat. Masih banyak yang lebih tertarik untuk menggunakannya sebagai media hiburan misal game online dan sosial media.

Kesenjangan juga terjadi karena kondisi ekonomi. Ketika orang hanya memiliki penghasilan yang hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, maka mereka tidak akan memikirkan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.

Sebagai penutup dari tulisan ini, bagaimana pun caranya siswa harus tetap belajar walau mereka tetap berada di rumah dan guru juga tetap berada di rumah selama wabah COVID 19 ini belum berakhir. Bagi guru yang termasuk generasi digital immigrant tetap semangat meningkatkan kompetensi dibidang teknologi informasi dan jangan segan untuk terus berkembang. Begitu pun guru generasi digital native tetap meningkatkan pelayanan kepada para siswa dan terus berinovasi.

Semoga bermanfaat.

 

Sumber Rujukan

Gibson, Kristin, dkk. (2013) Generation Z : The next generation of college students. NIRSA.

Badan Kepegawaian Negara (2019).  Statistik PNS per Desember 2018: Tenaga Guru dan Kesehatan Menjadi Fokus Pemenuhan Kebutuhan ASN.

Hendarman (2020). Kerja Sama dan Covid-19. https://www.facebook.com/ profile.php?id=100004922025998&epa=SEARCH_BOX

Baca lebih lanjut

Menangkal Hoax Meningkatkan Ketahanan Tubuh saat COVID 19


Oleh Bambang Aryan

Informasi resmi yang sedang ramai disampaikan oleh pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pusat adalah saat ini berada dalam pandemi. Sebenarnya yang terjadi ada dua hal. Satu, kita semua tahu sedang terjadi penyebaran virus corona, dan kedua: pandemi ketakutan. Betapa tidak, semua orang serasa berada dalam cengkeraman kepedihan dan menyakitkan bila dalam krisis apa pun. Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa ketika perlu berpikir jernih dan tetap tenang, panik pun mengarahkan otak ke dalam pemikiran “berkabut” dan tubuh menjadi tegang.

Inilah masalahnya, seseorang tidak bisa mengendalikan apa yang dirasakan, kapan kita akan merasakannya, atau seberapa kuat perasaan itu. Perasaan seperti panik datang tanpa diminta. Pilihan akan hadir secara spontan begitu perasaan (panik, takut, khawatir) muncul.

Ketahanan memiliki makna pulih dari gangguan seperti kepanikan, ketakutan dan kekhawatiran datang lebih cepat, sehingga pikiran dapat berpikir sebaik mungkin dan merasa tenang. Penelitian telah mengidentifikasi beberapa cara untuk meningkatkan kapasitas ketahanan untuk pemulihan. Salah satu cara hasil penelitian yang dilakukan oleh Goleman El (2020), bagaimana fokus pada pernapasan dan mengabaikan tarikan gangguan, dan bagaimana memindai tubuh untuk melihat tanda-tanda kecemasan dan membiarkannya hilang. Ketahanan mengacu pada kecepatan pemulihan dari kepanikan, ketakutan dan kekhawatiran. Untuk itu, langkah pertama untuk menghadapinya tetap tenang dan jelas ketika membaca tentang COVID-19 dan bagaimana cara menghindarinya.

Diyakini, salah satu cara bahwa ketahanan tubuh dapat membantu dalam membuat keputusan yang lebih baik tentang pengaruh COVID-19. Kenali masalahnya: berita palsu (hoax) menyebar online jauh lebih cepat dan lebih jauh dari kebenaran. Ini bukan sekedar tulisan yang tidak memiliki dasar. Berita palsu (hoax) telah diteliti oleh tiga ilmuwan komputer MIT yang menerbitkan sebuah studi pada bulan Maret tahun 2018 dalam jurnal Science Vol. 359. Vosoughi et al. (2018; 1146), mereka menganalisis lebih dari 126.000 rumor yang disebarkan oleh sekitar 3 juta orang.

Lantas, bagaimana bisa mengatakan bahwa itu berita palsu? News Literacy Project memberi tahu kepada kita semua cara membedakannya. Berikut adalah beberapa tips untuk membedakan yang sebenarnya dari kepalsuan:

Tanyakan pada diri sendiri siapa yang menciptakan ini, dan apa motif mereka?
Apakah ini hanya untuk menjual produk (memengaruhi) kepada Anda, misalnya?
Sebuah pelanggaran jika tidak ada sumber yang disebutkan sama sekali. Apakah ada?
Apakah sumber-sumber itu (jika ada) dapat dipercaya, independen, dapat dipercaya?
Jika artikel atau berita, apakah menawarkan sudut pandang yang berbeda, atau hanya mencoba meyakinkan Anda tentang satu hal?
Singkatnya, haruskah Anda mempercayai ini?
Jika Anda ragu, cari sumber lain yang mungkin mengkonfirmasi atau membatalkan konfirmasi.

Kembali ke hasil penelitian dari Vosoughi et al. (sumber yang menurut saya kredibel). Satu persen berita hoax tingkat populeritasnya dapat mencapai hingga 100.000 orang, sementara kebenaran hanya mencapai sekitar seribu orang saja. Mengapa? Vosoughi et al. mengatakan itu adalah dampak emosional dari informasi yang menyebarkan hoax. Otak kita terhubung untuk merespons lebih banyak ketika emosi kita diaduk. Selanjutnya, datang hoax baru (terutama jika itu menjual produk atau agenda) telah diasah oleh keterampilan tingkat tinggi, terutama ketika datang yang menyertakan/ada kaitannya dengan emosional.
Di situlah kecerdasan emosional dapat membantu.

Kondisi sekarang Anda mungkin seorang kepala sekolah yang harus memimpin sekolah dalam situasi tiba-tiba terkena dampak dan para guru yang sekarang bekerja di rumah. Atau mungkin Anda salah satu dari orang-orang yang harus mencari cara untuk bekerja secara produktif dari rumah atau bagaimana tetap aman dan sehat jika masih harus masuk kerja. Tantangan yang luar biasa, ketika wabah COVID-19 mengkhawatirkan semua kehidupan dan membuat kekhawatiran semua pihak yang tak terhitung jumlahnya.

Kekhawatiran ketika menghadapi beberapa ancaman mendesak, merupakan puncak produktif yang hilang begitu bahaya berlalu. Dilain pihak kepanikan menunjukkan jenis kekhawatiran terburuk, merenungkan ancaman (seperti virus corona) dan akhirnya membayangkan hal terburuk yang bisa terjadi tanpa menghasilkan langkah-langkah positif yang mungkin diambil. Peneliti Lyubomirsky et al. (1993;339) menyebut kekhawatiran yang begitu kuat sebagai rumination, yang hanya bergaung dan menguatkan dalam pikiran. Kekhawatiran beracun seperti itu telah menjadi pandemi dalam dirinya sendiri. Rumination adalah suatu pikiran yang mucul (tanpa disengaja, tanpa disadari) tentang suatu kejadian dimasa lalu yang tidak mengenakkan. Kecenderungan untuk mengkhawatirkan diri sendiri sampai pada titik panik adalah peninggalan masa lalu leluhur, masa pra-sejarah manusia purba ketika harus berjaga-jaga terhadap bahaya, seperti binatang buas besar yang ingin memakan.

Semoga berhasil dan tetap sehat!

dimuat juga disini

Menapak Bumi Bagai Tak Berjalan


Cerita terkadang memiliki makna yang berlebihan, namun tidak semua cerita dibuat menjadi sesuatu agar menarik disimak oleh pembacanya. Pengalaman hidup bisa jadi dikemas menjadi sebuah bahkan rangkaian cerita menarik. Ini hanya sekedar cerita penglipur lara disaat waktu senggang.

Dua tahun lebih sudah dijalani rutinas. Ada hal yang menarik bahkan banyak yang membuat kami harus berfikir ekstra menyikapi permasalahan yang dihadapi. Menarik, karena dulu belum pernah dialami semasa bertugas lebih kurang 23 tahun. Belum pernah dialami dan tidak membuat khawatir dihadapi, atau bahkan memberikan kontribusi positif dalam menjalankan tugas. Berfikir ekstra, bisa jadi masalah yang dihadapi mendapatkan tantangan yang luar biasa bahkan mungkin menjadikan hambatan sehingga berupaya mecari solusi agar terselesaikan dengan baik.

Dulu, saat kali pertama menjalani tugas yang baru, ada hal yang sangat dikhawatirkan terjadi. Apa yang dikhawatirkan tidak jelas, bahkan sampai saat ini belum dapat ditemukan apa yang dikhawatirkan. Rasa takut tidak bisa berbuat amanah, rasa khawatir tidak bisa melakukan yang terbaik demi tugas yang diemban.

Seiring berjalannya waktu, hari-hari dijalani dengan kesungguhan hati. Keinginan memberikan yang terbaik terus menggebu dalam hati dan jiwa. Rangkaian kegiatan pun dilalui dengan baik. Kekhawatiran itu lambat laun hilang ditelan waktu, muncul keyakinan diri bahwa tugas yang diemban akan berbuah manis.

Sekarang, ditempat tugas yang baru. Lebih kurang 2 bulan bertugas disini, banyak hal baru dan tantangan baru. Tidak mudah menjalani ini semua, tidak mudah menjawab seluruh masalah yang muncul. Suasana disini berbeda dengan ditempat terdahulu. Walau demikian, harus dijalani dan harus bisa memberi yang terbaik. Tidak ada masalah yang tidak dapat dicari solusinya. Tempat ini, bisa jadi dapat membawa diri menjadi lebih dewasa dan lebih matang dalam menjalani hidup.

Jalani seluruh kegiatan dengan kesungguhan hati, dalam suasana keikhlasan. Alloh ada disekitar kita, Alloh tidak diam, Alloh tahu apa yang dialami hambanya. Niat baik tentu akan mendapatkan sesuatu yang baik. Pijakan kaki ke bumi walau serasa badan ini tidak berjalan.

#sekedarberbagi

 

2013 in review, sebuah perjalanan yang amat panjang…


Tak terasa sudah berada di akhir tahun 2013 lagi, sudah berapa tahun usia blog ini… semoga tulisan2 pada blog ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

The WordPress.com stats helper monkeys prepared a 2013 annual report for this blog.

Here’s an excerpt:

The concert hall at the Sydney Opera House holds 2,700 people. This blog was viewed about 19,000 times in 2013. If it were a concert at Sydney Opera House, it would take about 7 sold-out performances for that many people to see it.

Click here to see the complete report.